- - - - -
... Hujan masih saja
lebat, padahal ia telah menjatuhkan diri semenjak dua jam yang lalu.
Basahnya menggeliatkan
tanah juga pepohonan, menjadikan hawa dingin menampakkan wajah di sudut-sudut
rumah.
Isyarat hujan mengurai
kisah penat bersama airmata yang sekian tadi enggan berhenti.
Ahh... hujan,
barangkali ia hendak menceritakan perihal apa yang membinasakannya dalam gelap
senja.
-
- -
Ingin mengurai simpul
memory satu persatu dengan terbata tanpa bicara bersama basah hujan yang
menggenang disudut senja.
Diantaranya terselip
satu nama, kilaunya pun masih nampak jelas dalam ruang tak bermata.
Dia yang menjadikan
lagu semakin merdu dengan lembut bahasanya.
Sajak yang tak
bernyawa ia jadikan indah dalam makna.
Menyihir kata menjadi
sebuah cerita, suka cita.
-
- -
Pisau tajam
menunjukkan kilatannya, kuasanya menghujam angan, menjadikan mimpi tiada,
binasa.
Hanya sejenak cerita
kau ukirkan, pada akhirnya sebuah sayatan, menyakitkan.
Adalah dirimu yang
dahulu menjadi simpul senyum, harga mati dari sebuah harapan.
Namun kini, kau yang memapah luka untuk menceritakan perih sayatannya.
Namun kini, kau yang memapah luka untuk menceritakan perih sayatannya.
-
- -
Hujan menangis pada
batu
Ia penuhi senja dengan
ratapannya
Menjadikan langit
basah ribuan makna
Di antara diam, ada
rindu yang beranjak mendendam
Dalam keping
luka, sayatan dalam, berkepanjangan. . .
*
* *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar