Kamis, 31 Mei 2012

Risalah Angin













. . .

Angin mengajarkan,sajak bernyawa bukan hanya tentang luka
Agar duka tak mengembang mainkan rasa
Hembuskan miris
Irama tangis

Sajak luka pastinya perih sayatan
Tak luput aroma atas kesedihan


.
.
.

Angin, ajaranmu adalah sajak tertata, bahagia
Harapmu, cerita tak saja berkalang duka
Sebab kau rindu senyumku
meramu harimu

Angin, petuahmu mengusik paradigma tentang sajak bernyawa
Membuatku hanya ingin bersyair
tentang Cinta

* * *




Rabu, 30 Mei 2012

Sajak Tak Berisi


Untukku, pergimu adalah cerita nestapa
Yang layarnya menangkup sepi ribuan makna
Jerit perih menancap pada batang hari
Menggeser desah menjadi sunyi

Hilang jejakmu di antara gerimis yang patah

Menjadikan cerita luka terasa jelas dalam lafaz
Memagari selerat senyum, tak lagi mempesonakan
setiap pandang

Sajak tak berisi
Terjemahan dari luputnya hati untuk mencintai
Yang tergolek di antara puing kenangan
Adalah diriku sajak tak lagi bertuan

* * *

Ketakpastianmu

. . . . .


Aku hendak mengais apa yang hilang dari sisiku
Sebagian asa yang mengabur bersama angin
Serta ribuan sajak yang menghangus
Tak dapat lagi terbaca, beserta indahnya


Kau kabarkan gulana
Ketika cinta baru saja menengadah
Menerima uluran hatimu yang kau tawarkan


Sebenarnya cerita apa hendak kau tulis
Bahasa luka serta airmata
Ataukah perihnya bahagia yang tak sanggup kan terlupa


Sungguh . . .
Hanya ketidak pastianmu yang kau ulurkan
Bukan nyata sebuah harapan
Tak menghamba pada batas kesanggupan


. * .  * .

Yang Menghilang Bersama Hujan



. . .
Hujan kemarin hanyutkan sebagian rindu di antara sepi
Gugurkan mimpi jadi tak ada arti
Ketika hujan tak pahami arti basahnya
Ia hadirkan angkuh diantara rintikan
Menjadikan derainya teramat asing,dalam bising


Aku t'lah kehilangan rindu diantara hujan
Lahirkan perih kaburkan kilau pelangi


Kini kucari lagu penawar sepi
Mengaisnya di belantara angin
Sekiranya ia menelusup dalam sayup
Menjadikan hatiku nyala, meski dengan secuil bara


- - -

Balada Harapan Usang


. . .


Akan bisa seperti apa, bila aku mampu mengukir jejak seirama denganmu
Mampukah bulan yang memucat menjadi berkilau sebab asa kita
Apakah hujan yang menggerimis akan nampak indah sebab rintiknya
Ataukah sepi yang menjelma sekian tadi segera beranjak pergi dalam runtuhan hari
.
.
.
Masih samar 
Teramat nampak samar
Diantara perenungan, tak mampu ku dapati jawaban
Semua hanyalah harapan usang yang tak harus diwujudkan
Biarkan saja ia tetap menari dalam angan
Dalam diam . . .

* * *


Menjamah Bulan



. . . . . . .


Gerak menit mengantar pada batas hari
Gulirkan petang pada keheningan
Seperti malam sebelumnya, bintang nampak mendekap bulan
Menjadikan iri mencumbui hati


Ada kesedihan yang tak mampu diluputkan angin
Menggumpalkan resah dalam kesendirian 
Sebab nampak genggaman erat bintang pada bulan


Terbit matahari adalah masa teramat dinanti
Basah embun pagi adalah penawar ketidakberdayaan hati, tak mampu miliki
Namun jantungku masih mengingati bulan
Meski ia menjelmakan kesedihan dan kesunyian


Ingin menjamah bulan
Lalu mendekapnya erat tak terlepas
Meski di kejauhan, bintang menangkup perih
Tak ku peduli
Karena hati tak mampu untuk tak mencintai


* * * 



Selasa, 29 Mei 2012

Lawatan Sepi

- - -


Sepi, kau kembali lagi hari ini
               Setelah aku merasa kehilangan
                           Sebuah senyum tersapu oleh hujan
                                    Meninggalkan bayangan, kelam
-
.
.

" KOSONG "




* * *

Jejak Merapuh



. . .
Ingin menangis sejadi-jadinya
Ingin berteriak selantang-lantangnya
Perihal rindu yang harus terpenggal waktu
Jarak bersiap membentang mengalahkan harapan

Ada rapuh yang mulai nampak di ujung mata
Terlihat amat letih, merangkak menangkup sepi
Atas hilangnya sabdamu dari bisikku
Rapuh tak hendak mengikis dari benakku

Satu waktu yang tak bisa diabaikan
Tangan takdir telah mengukir jalan, perpisahan
Membakar rindu menjadi legenda
Melelapkan asa di linang airmata

Kini bersiap melangkah tanpa sejukmu
Hadapi sepi, antara lorong waktu
. . .

Senin, 28 Mei 2012

Relief Abu-abu


. . .

Mengapa harus lagi, kuteguk anyirnya darah, dari lukaku
Setelah sekian waktu senyummu memapahku, dalam meditasi rindu
Menjadikan lingkup ruang terasa begitu aneh
Mengayunkan sajak menuju lorong gelap dan hitam

Ah.. sebenarnya apa yang hendak kau mainkan
Sajak luka ataukah sajak hujan
Sepertinya sama saja
Bagiku semua adalah tangisan

Andai kau bisa selami hatiku
Mungkin akan dapat kau temui sebuah wajah, yang rupanya tak asing bagimu
Andai kau tak mampu selami hatiku
Aku mungkin bisa memberi jawaban ketidakmampuanmu
Wajah itu adalah rautmu
Terukir bersama airmata sajak rindu

Tapi meragu
Bisakah rautmu mengekal di sudut hati
Setelah kau mainkan sajakku bersama jatuh hujan
Terlupakan . . .

. . .

Sabtu, 26 Mei 2012

Airmata Penyair

"Jika saja airmata yang lepas bukan dari sajak luka, 
tentunya tak sekeruh itu linanganku ..."

- - - - -

...Entah mengapa, ketika kesedihan mendekap dengan lembut, dapat tercipta sajak yang bernyawa

Makna yang terselip, terasa indah dalam tatanannya

Mungkinkah meluka adalah hal yang terbaik untuk seorang penyair

Dendangnya akan terasa lebih miris ketika hati yang merasakan,mungkin disitulah letak rahasia
Selipan makna terbungkus kata

.
.
.

Airmata sesungguhnya bukan suatu harapan
Sebab lepasnya terasa perih melengking di basah pendengaran 
Namun itulah nyata,sajak meluka adalah sajak yang bernyawa
Sajak yang tak dipungkiri mampu mengikis airmata untuk terus berlepasan
Menggerimis seiring pagutan sedih, sepenggalan

* * *

Aku Tak Kembali

- - - - -

Aku tak kembali
Telah kau haramkan mata menaksir tubuhku, pun sekedar bayangan


Aku tak kembali
Telah nyata lengkung suaramu tak ingin ternoda, oleh cecap pahit lidahku


Aku tak kembali
Bisikku tak kuasa meredam lukamu, berliku dalam sepiku perih amarahmu


Aku tak akan kembali
Keras hatimu memagari ruas-ruas sepi, menjadikan api tak nyala lagi


Aku tak akan pernah kembali
Tatapanmu inginkan aku segera kemasi mimpi
Merapalkan mantra duka seorang diri
Disini, dalam jeruji sepi

* * *

Pengantar Asa juga Sepi

- - - - -
-
-
-


Lelah menyergap nafasku
Sekian waktu kuserahkan kaki untuk menari di keluasan tubuhmu
Menguliti makna diam, antara gemuruh tawa
Abaikan ruang perih yang kapan saja bisa melukai
Ia yang menuntunku sampai disini
Menjadikan gairah terbakar api, karenamu
Ia mengantarku memapah rindu dalam badai, cintamu


.
.

Tak pula itu
Ia menjadikan pupus meruas antara tulangku
Setelah wartamu menghilang dalam keping waktu
Ia yang membuat jiwa seolah tiada
Menggelepar di linang airmata

.
.

Ia juga membuatmu indah nampak di mataku
Ia pun yang mengantarku pada batas mengangankanmu
Ia adalah hati
Dipelukannya kini maut menagih janji
Karena sunyi kehilangan api
Karena hati ingin sembunyi, dari mencintai

.
.
* * *




Jumat, 25 Mei 2012

Episode Penghabisan


- - -

Airmata dalam pangkuan
Ia menganak sungai, berlepasan
Rinai-rinai kecil mengusik hati, resahnya membatu sekian tadi

Ada yang pergi bersama lintasan waktu
Jarak menjadikan pelangi abu-abu, bias dalam warna, hambar pada rasa

Ada yang tak mampu dimengerti, dari sebuah perdebatan ini
Sajak apa yang di inginkan, antara sepi atau mati

Ahh... aku tak tahu apa yang hendak kau tasbihkan
Dari secuil puisi yang kau temui diujung jalan
Apakah indahnya melebihi sajak yang telah kubuat, demimu

Bisanya mungkin segera beranjak pergi
Mengosongkan fikir, tentangmu
Dan tak mengharap pelangi dimatamu tampak indah menatapku

Biarkan..
Biarkan ia pergi bersama sepi
Di ujung mimpi

* * *

Memory Of You


- - - - -

... Hujan masih saja lebat, padahal ia telah menjatuhkan diri semenjak dua jam yang lalu.
Basahnya menggeliatkan tanah juga pepohonan, menjadikan hawa dingin menampakkan wajah di sudut-sudut rumah.
Isyarat hujan mengurai kisah penat bersama airmata yang sekian tadi enggan berhenti.
Ahh... hujan, barangkali ia hendak menceritakan perihal apa yang membinasakannya dalam gelap senja.

- - -

Ingin mengurai simpul memory satu persatu dengan terbata tanpa bicara bersama basah hujan yang menggenang disudut senja.
Diantaranya terselip satu nama, kilaunya pun masih nampak jelas dalam ruang tak bermata.
Dia yang menjadikan lagu semakin merdu dengan lembut bahasanya.
Sajak yang tak bernyawa ia jadikan indah dalam makna.
Menyihir kata menjadi sebuah cerita, suka cita.

- - -

Pisau tajam menunjukkan kilatannya, kuasanya menghujam angan, menjadikan mimpi tiada, binasa.
Hanya sejenak cerita kau ukirkan, pada akhirnya sebuah sayatan, menyakitkan.
Adalah dirimu yang dahulu menjadi simpul senyum, harga mati dari sebuah harapan.
Namun kini, kau yang memapah luka untuk menceritakan perih sayatannya.

- - -

Hujan menangis pada batu
Ia penuhi senja dengan ratapannya
Menjadikan langit basah ribuan makna

Di antara diam, ada rindu yang beranjak mendendam
Dalam keping luka, sayatan dalam, berkepanjangan. . .


* * *


Senin, 21 Mei 2012

Luka dan Sepi



"Mengering bersama sepi, sirna bersama sunyi, adalah senyummu yang tak mampu terbeli . . . "

- - - - - - - - - - -


Apalagi yang hendak aku tangisi
Setelah ribuan kali airmata menganak sungai, karenamu
Ada asa yang hendak kau kaburkan
Seiring basah sayatan hujan
Resahku meluka, diantaranya
Galau rinduku menggerutu, membakar sajak diamku
Pergimu bersama angan panjangmu
Menampar mimpiku di batas pengharapan

Kini tak ada yang harus aku tangisi
Pergimu tak jua aku sesali
Sebait lukaku sirna tertelan sepi
Mengering diantara keruhnya hari




* * *

Sabtu, 19 Mei 2012

Pulang



Angin berbisik
Manis sekali
Bisiknya padatkan waktu
Menyimpan sekeping kisahku
Masa lalu

Sekian musim bersembunyi, dari kampung halaman
Sepotong kabarpun tak pernah aku bagi
Untuk camar penopang hati
Pemuja setia yang tak pernah usai dengan doa tuanya

Namun ada rindu yang tak mampu disamarkan
Antara dingin serta hujan
Ia menggigil di sudut hati
Tak nampakku, bersembunyi

Rindu yang tak bisa dipahami
Memapahku berjalan kembali
Mengurai rindu yang sempat tertahan
Memaksa mimpi berlarian
Tunggang langgang, tak beraturan

Adalah rindu teruntuk ibuku
Pemuja setia yang tak pernah lelah mencinta
Dengan sepenuh tulusnya

Wahai Ibu . . .
Rindu ini mengantarku pulang
Sambut aku, si anak hilang

* * * * *

Simpul Luka


"Meski senyum mampu kaburkan luka,
 namun kilau mata tak mampu menyamarkannya,
 apalagi luka tentang cinta ... "

- - - - - - - - - - -


Ada simpul luka yang berusaha kau urai
Lewat apa yang kau tulis
Meski tak pernah nyata lewat kata

Kau abukan cerita yang sebenar kau rasa
Dengan senyum simpulmu

Namun ketika luka menceritakan sayatannya
Matamu tak mampu menyamarkan
Jejak luka yang masih terekam
Dalam sudut hatimu

* * * * *

Bertahan Dalam Badai

"Tak akan ada luka yang mampu bertahan selamanya . . ."

 - - - * - * - - -



Hujan boleh saja deras, sederas-derasnya
Angin boleh saja kencang, sekencang-kencangnya
Namun mimpi tak pernah boleh usai
Asa juga tak boleh sirna, sia-sia


Meski kelak hujan menyihir hujan menjadi badai
Jangan pernah surutkan langkah
Bertahanlah . . .
Sebab, bila badai telah berlalu
Pelangi yang indah pasti menantimu


* * * * *

Sayatan Luka Tak Memupus Harap



- - - - -

Tak ada yang harus patah
Tak pula ada yang harus salah arah
Merpati patah sayap , tak mustahil dapat terbang
Ikan masih mampu berenang meski ditengah gelombang
Begitu juga dengan langkah ini, tak harus terhenti meski hanya dengan satu kaki

Harus mampu tertawa, meski kecewa menggeliat dalam dada
Harus mampu tersenyum, meski ketakutan menghantui seribu mimpi
Meski sepi, airmata tak harus menggerimis
Mengupas senyum menjadi tangis

Ada harapan baru menanti, diujung luka yang mengering
Pasti . . .
Suatu hari nanti

* * *

Phobia Ujung Hari



- - - - -


Terlalu jengah mimpi tak segera temui pagi
Lelah berjalan di ujung hari melegam
Hitam tanpa terang


Ia sunyi, tak aku senangi
Memaksa riuh menjadi sepi
Mengukir mati diseberang mimpi


Malam ceritakan bahasanya
Ia merayu dalam kidung kegelapan
Diantara sayup teriakan malam
Melenakan . . .


Masih tak mampu hadapi ujung hari, apalagi sunyi
Cerita malam ku takuti
Pusara sepi menghantui


Sepanjang gelap enggan ku lalui
Sebab sendiri . . .




* * *

Jumat, 18 Mei 2012

Believe



“Tak ada yang bisa mencegah bila kebahagiaan akan menghampiri kita, tidak pula ada yang bisa menghambat datangnya luka jika Tuhan sudah menghendakinya . . .”


- - - - - - - -



Jika hari ini ada luka, nikmatilah selagi bisa
Rasa sakit itu untuk dinikmati, bukan untuk disesali
Semua ada masanya, begitu juga dengan episode airmata
Bila sudah waktunya, luka kan mengering jua
.
.
.

Percayalah. . .
Tuhan tak akan pernah menyiksa hambaNya 
apalagi hamba yang percaya pada kuasaNya



******

Sajak Waktu



Waktu telah kumamah dengan seksama
Ku lumat habis diantara tangis, menyertakan tawa diantara rotasinya
Lepaskan detik menjadi masa lalu
Melukisi hari ini dengan harapan
Serta menanti hal baru, di esok hari

.
.
.

Itulah simbol waktu
Antaranya ialah catatan hatimu

 *******

Langkah-langkah Patah



“Esok masih bersembunyi, senyumanpun tak mampu aku ukir hari ini,
entah mampu ataukah sudi, riwayat seperti kemarin berulang lagi,
pagi nanti . . .”


----------------------------------------------


Dengan langkah gontai, kumasuki episode baru, babak dari rangkaian panjang sebuah perjalanan.
Sedikit merasa takut, ragu, kecewa dan ribuan rasa yang tak mampu aku menyebutnya apa.
Seperti api kehilangan nyala . . .
Seolah burung hilang kicaunya . . .
Semacam itulah balada yang kini menggelombang dalam hati, menggulung emosi,
nyalang sepi . . .

- - 
- - -
- - 


Tentang cakrawala yang tak mampu takhlukkan keadaan, ia binasa seketika juga
Nelangsa karena bukan siapa-siapa
Menderita sebab tak mampu menjadikan ada
Hanya mampu berpasrah, meski dalam resah
Dalam lemah langkah-langkah patah . . .


*******

Bahasan Rindu



“Tatkala rindu menggenang di sudut hati . . .”


----------------------


Adalah rindu yang tak bisa dipahami, dia ada namun menyiksa
Menjadikan ilusi terasa amat sinis
Menidurkan mimpi menjadi mati, terkubur lingkaran sepi
Merasa perih . . .

                Sendiri  . . .


***

Rabu, 16 Mei 2012

Sketsa Hati





Membatik makna, dalam gurat kata

Syahdu membisik

Dilema hati  terkibas perih


Ada lelah, menjamah

Perlahan ia rebah dalam hujan

Setelah itu, dingin menghujam

Tajam, dalam pangkuan


Sepi memaknai arti sendiri

Kehilangan harap umpama tak bertuan

Ia timpang dalam pijak

Mengembara sendiri, tanpa arti

Penuhi goresan dengan luka, Menganga 

Lawatan sunyi mengerang

Masih terbata, dengan makna diam

Meramu pilu menjadi batu
Setelah kosong menyisir jejak sepimu
Inilah sketsa tiada rupa
Guratan sepi tanpa makna
Meladangkan tinta airmata
Meleburkan asa sebelum batas cerita


Jejak Sahajamu yang tertinggal


Seolah bagai pelangi tanpa warna, tatkala kabar sedih menghampiri seketika, gersang... 
sunyi....
mati ...
tak mampu temui asa dalam mimpi”

. . .

Jejak merekam nyala semangat
Pena harummu tertinggal pada almanak tua
Sendu meracau di tiap lembarnya
Singkirkan kecemasan membuta
                                    
Alangkah syahdan gerak menit yang terlalu
Bukankah baru sekian detik, petuahmu menemani
Menyeberangkan keinginan tentang sebuah cita-cita

Tragedi sepi menyambangi malam
Mencabik-cabik layar mimpi, di batas pengharapan
Ada resah melilit memagut kalbu
Terasa penat cerita itu mengerat, ribuan mimpi
yang seyogyanya masih dini tertata

Ada hati mengering tiba-tiba, gersang
Nyala di atas penghabisan
Asa mengeping di sisi hari
Perburuan karya seakan mati, menjadi-jadi

Usai sudah bahasa sahaja, yang kau sampaikan
Sajakmu adalah sendu terpatri di kerasnya hati
Meninggalkan sepi diantara puing-puing mimpi, kelam sembunyi
Kini harapan tak tahu lagi, mampukah menjadi api

. . .