" Guratan sendu diatas rinduku yang beku . . ."
Aku dibesarkan bukan
dikampung halaman, aku besar diperantauan. Karena ayahku diterima
sebagai pegawai didaerah yang kini menjadi tempat tinggalku, dengan terpaksa kami pergi
meninggalkan tanah kelahiranku. Meninggalkan berjuta kenangan milik orangtuaku
serta milikku.
Sebenarnya aku terlalu kecil untuk merasakan sebuah kenangan
karena saat kami berpindah tempat tinggal aku masih berumur 9 bulan, namun walaupun begitu aku merasa seolah ada
ikatan batin yang menuntunku untuk terus merindukannya dan kembali lagi ke tempat itu, tanah kelahiranku.
Dulu saat aku masih duduk dibangku taman
kanak-kanak, masih sering aku pulang bersama ayahku, ayahku juga lahir disana, mungkin ada
kesamaan rindu seperti yang aku rasakan, hingga masih sering ayah mengajakku pulang ke kampung halaman walau tanpa ibu. Ibuku besar ditanah kelahiranku tapi ia lahir ditempat tinggalku saat ini, dan mungkin itu yang membuat ibu jarang ikut pulang bersamaku. Namun
seiring berlalunya waktu kini kami jarang pulang, dengan alasan tak ada waktu lagi untuk itu. Meski sebenarnya rasa rindu berlarian dalam fikiranku.
Kini aku sudah dewasa, masa sekolahku pun sudah
kuhabiskan dengan sempurna, namun tetap saja rindu akan tanah kelahiranku sering
menyerangku tiba-tiba. Bayangan masa kecil serta gersangnya tanah kelahiranku seringkali menari-nari dipelupuk mataku, terkadang pula menjadi tamu di mimpi-mimpiku.
Tujuh tahun lamanya aku tak pernah pulang, tak
sekejap pun aku injakkan kakiku ditanah kelahiranku. Alasannya masih tentang pekerjaan ayahku, pekerjaan yang terikat dan tak boleh sembarangan meninggalkan tugas. Hingga tak terasa kami mengabaikan cinta seorang perempuan, beliau sendiri lewati
sepi. Disetiap waktunya beliau habiskan untuk merindukan kami, namun tak pernah kami
sadari kehadiran kami sungguh sangat berarti. Sekuat apapun kami mengajak beliau untuk tinggal bersama kami beliau tetap tak mau. Beliau berpegang teguh pada prinsipnya, bahwa beliau harus mati ditanah kelahirannya, itulah yang menjadikan jarak diantara kami terasa begitu nyata. Hingga dengan hati berat, kami tingalkan beliau sendiri ditempat itu.
Bertahun-tahun aku tak pernah kembali pulang, mungkin banyak yang
berubah dari tanah kelahiranku, tempat bermain masa kecilku ketika aku pulang
kini sudah berganti wajah, sahabat masa kecilku saat kudatangi ketika libur panjang
kini entah ada dimana begitu juga dengan saudara-saudara sepupuku yang kini telah dewasa tak
bisa lagi aku temui, entah bagaimana kabarnya kini. Saat teringat mereka yang
terbayang hanya masa kecil yang indah, yang terasa hanya sekejap saja. Rumah tempat
tinggal kedua orang tua ayahku kinipun tak layak huni lagi, sudah lapuk disana sini
termakan oleh waktu. Bangunannya pun tak sekokoh dulu.
Setelah tujuh tahun berlalu. Kini aku
pulang bersama jutaan rindu yang menghujam. Dengan tetes airmata yang tertahan,
kuinjakkan kaki ditanah kelahiranku, tempat yang bertahun-tahun selalu aku rindu.
Harum wanginya masih sama, namun rupanya tak serupa dengan dulunya, telah banyak yang
berubah. Terutama disudut-sudut yang dulunya menjadi tempat bermainku, masih kuingat
jelas bagaimana dulu ketika aku mencari buah asam dan buah sawo yang sudah berjatuhan dari pohonnya , ataupun ketika bersepeda disepanjang jalan
kampung bersama saudara-saudara sepupuku, sungguh kenangan yang berharga yang hingga kini tak mampu aku lupa.
Airmata yang tertahan kini tertumpah juga
menjadi linang airmata, ketika kudapati tubuh itu sudah kaku membisu. Tubuh
renta yang sekian lama merindukan kehadiran kami, kini telah tiada. Hingga diakhir usianya, beliau tetap senantiasa merindukankan kami meski dengan bahasa yang tak kami mengerti.
Begitu rindunya beliau akan hadirnya kami, begitu seringnya beliau mengingati kami hingga akhirnya ingatannya pun hilang, berjalan
kemanapun beliau mau, beliau menjadi orang yang tak waras, itu kata orang-orang yang melihat
perilakunya. Kenyataan seperti itu makin membuatku merasa bersalah, mungkin itu pula yang dirasa oleh ayahku meski tak pernah sekalipun ia mengatakan jujur padaku. Maafkan kami, mungkin salah kami telah lama mengabaikanmu, mengabaikan rindumu, hingga engkau berakhir
seperti ini. Kau pun menyerah saat kecelakaan itu menimpamu, ketika kau tengah berjalan-jalan seperti yang sering kau lakukan pada tiap waktu untuk mengisi hari-hari kosongmu.
Sesal tak mungkin bisa menghidupkan nenekku kembali, dan perih itulah yang kini harus aku jalani. Sesal ayah pun mungkin
menggunung, setelah ia tak bisa berbakti didetik-detik akhir masa hidup orangtuanya.
Hanya lawatan doa senantiasa terkirim
seusai sholat yang menguatkan aku untuk bertahan, senantiasa mengenang beliau disudut hatiku, dan berharap yang terbaiklah yang merangkul beliau disana.
Dibalik rindu akan tanah tumpah darahku,
ada cerita pilu yang tak ingin kubagi, ingin kunikmati sendiri rindu
yang mengukuhkan sepi, menghangatkan mimpiku dengan bayangan masa kecilku. Rindu yang tak pernah terkikis dari hatiku walaupun waktu kian berlalu.
. . .
. . .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar