Sabtu, 05 Mei 2012

Dibalik Rindu Membatu

" Guratan sendu diatas rinduku yang beku . . ."

Aku dibesarkan bukan dikampung halaman, aku besar diperantauan. Karena ayahku diterima sebagai pegawai didaerah yang kini menjadi tempat tinggalku, dengan terpaksa kami pergi meninggalkan tanah kelahiranku. Meninggalkan berjuta kenangan milik orangtuaku serta milikku. 
Sebenarnya aku terlalu kecil untuk merasakan sebuah kenangan karena saat kami berpindah tempat tinggal aku masih berumur 9 bulan, namun walaupun begitu aku merasa seolah ada ikatan batin yang menuntunku untuk terus merindukannya dan kembali lagi ke tempat itu, tanah kelahiranku.
Dulu saat aku masih duduk dibangku taman kanak-kanak, masih sering aku pulang bersama ayahku, ayahku juga lahir disana, mungkin ada kesamaan rindu seperti yang aku rasakan, hingga masih sering ayah mengajakku pulang ke kampung halaman walau tanpa ibu. Ibuku besar ditanah kelahiranku tapi ia lahir ditempat tinggalku saat ini, dan mungkin itu yang membuat ibu jarang ikut pulang bersamaku. Namun seiring berlalunya waktu kini kami jarang pulang, dengan alasan tak ada waktu lagi untuk itu. Meski sebenarnya rasa rindu berlarian dalam fikiranku.
Kini aku sudah dewasa, masa sekolahku pun sudah kuhabiskan dengan sempurna, namun tetap saja rindu akan tanah kelahiranku sering menyerangku tiba-tiba. Bayangan masa kecil serta gersangnya tanah kelahiranku seringkali menari-nari dipelupuk mataku, terkadang pula menjadi tamu di mimpi-mimpiku.
Tujuh tahun lamanya aku tak pernah pulang, tak sekejap pun aku injakkan kakiku ditanah kelahiranku. Alasannya masih tentang pekerjaan ayahku, pekerjaan yang terikat dan tak boleh sembarangan meninggalkan tugas. Hingga tak terasa kami mengabaikan cinta seorang perempuan, beliau sendiri lewati sepi. Disetiap waktunya beliau habiskan untuk merindukan kami, namun tak pernah kami sadari kehadiran kami sungguh sangat berarti. Sekuat apapun kami mengajak beliau untuk tinggal bersama kami beliau tetap tak mau. Beliau berpegang teguh pada prinsipnya, bahwa beliau harus mati ditanah kelahirannya, itulah yang menjadikan jarak diantara kami terasa begitu nyata. Hingga dengan hati berat, kami tingalkan beliau sendiri ditempat itu.  
Bertahun-tahun aku tak pernah kembali pulang, mungkin banyak yang berubah dari tanah kelahiranku, tempat bermain masa kecilku ketika aku pulang kini sudah berganti wajah, sahabat masa kecilku saat kudatangi ketika libur panjang kini entah ada dimana begitu juga dengan saudara-saudara sepupuku yang kini telah dewasa tak bisa lagi aku temui, entah bagaimana kabarnya kini. Saat teringat mereka yang terbayang hanya masa kecil yang indah, yang terasa hanya sekejap saja. Rumah tempat tinggal kedua orang tua ayahku kinipun tak layak huni lagi, sudah lapuk disana sini termakan oleh waktu. Bangunannya pun tak sekokoh dulu. 
Setelah tujuh tahun berlalu. Kini aku pulang bersama jutaan rindu yang menghujam. Dengan tetes airmata yang tertahan, kuinjakkan kaki ditanah kelahiranku, tempat yang bertahun-tahun selalu aku rindu. Harum wanginya masih sama, namun rupanya tak serupa dengan dulunya, telah banyak yang berubah. Terutama disudut-sudut yang dulunya menjadi tempat bermainku, masih kuingat jelas bagaimana dulu ketika aku mencari buah asam dan buah sawo yang sudah berjatuhan dari pohonnya , ataupun ketika bersepeda disepanjang jalan kampung bersama saudara-saudara sepupuku, sungguh kenangan yang berharga yang hingga kini tak mampu aku lupa.
Airmata yang tertahan kini tertumpah juga menjadi linang airmata, ketika kudapati tubuh itu sudah kaku membisu. Tubuh renta yang sekian lama merindukan kehadiran kami, kini telah tiada. Hingga diakhir usianya, beliau tetap senantiasa merindukankan kami meski dengan bahasa yang tak kami mengerti. Begitu rindunya beliau akan hadirnya kami, begitu seringnya beliau mengingati kami hingga akhirnya ingatannya pun hilang,  berjalan kemanapun beliau mau, beliau menjadi orang yang tak waras, itu kata orang-orang yang melihat perilakunya. Kenyataan seperti itu makin membuatku merasa bersalah, mungkin itu pula yang dirasa oleh ayahku meski tak pernah sekalipun ia mengatakan jujur padaku. Maafkan kami, mungkin salah kami telah lama mengabaikanmu, mengabaikan rindumu, hingga engkau berakhir seperti ini. Kau pun menyerah saat kecelakaan itu menimpamu, ketika  kau tengah berjalan-jalan seperti yang sering kau lakukan pada tiap waktu untuk mengisi hari-hari kosongmu.
Sesal tak mungkin bisa menghidupkan nenekku kembali, dan perih itulah yang kini harus aku jalani. Sesal ayah pun mungkin menggunung, setelah ia tak bisa berbakti didetik-detik akhir masa hidup orangtuanya.
Hanya lawatan doa senantiasa terkirim seusai sholat yang menguatkan aku untuk bertahan, senantiasa mengenang beliau disudut hatiku, dan berharap yang terbaiklah yang merangkul beliau disana.
Dibalik rindu akan tanah tumpah darahku, ada cerita pilu yang tak ingin kubagi, ingin kunikmati sendiri rindu yang mengukuhkan sepi, menghangatkan mimpiku dengan bayangan masa kecilku. Rindu yang tak pernah terkikis dari hatiku walaupun waktu kian berlalu. 
. . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar